Oleh:
Pandapotan Harahap
A.
Pendahuluan
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (telematics)
terjadi sangat pesatnya ketika memasuki millennium
ketiga. Sejalan dengan Hukum Moore[i] yang
menyatakan bahwa perkembangan kecepatan prosesor dalam memproses data meningkat
dua kali lipat dalam 24 bulan. Dalam dekade pertama millennium ketiga (di tahun 2006), prosesor intel telah mampu
mencapai kecepatan 2,4 GHz, kemudian berkembang kelipatannya sampai core i9 yang
merupakan kelipatan paralelnya[ii]. Akibatnya kecepatan akses dan kecepatan
pengembangan teknologi pemrosesan data saling timbal balik dan mendukung[iii].
Pada
pertengahan dekade kedua millennium
ketiga, perkembangan telematika telah mampu memadukan perangkat radio, gambar,
video, telekomunikasi nirkabel, kamera dan internet dalam satu perangkat saja.
Ini mengakibatkan terjadinya perubahan besar-besaran hampir di semua bidang yang berkaitan dengan
teknologi, terutama perbankan. Para nasabah yang biasa berualang dan antri di
ATM dan di bank mulai perlahan berangsur menggunakan SMS banking dan internet banking
secara terpisah. Namun sejak perkembangan smartphone di masyarakat khususnya
kalangan nasabah muda, aktivitas perbankan beralih pula dalam satu perangkat saja.
Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi dalam perbankan di atas pada dasarnya masih
berupa peralihan dari cara tradisional offline
menjadi online, belum terlihat
perubahan besar yang mendasar di bidang perbankan dan produknya. Meskipun saat ini
produk-produk pendanaan sangat mudah dilakukan meskipun tanpa tatap muka, hanya
bermodal KTP dan konfirmasi via ponsel dan email saja, namun intinya masih
berupa produk lama, yakni pendanaan.
Pada
dasarnya dunia perbankan mengacu pada: bank, nasabah dan uang itu sendiri. Jika
ketiganya terlaksana secara terintegarasi dalam teknologi digital dan internet,
maka wujudlah apa yang dikenal dengan
teknologi keuangan (financial technology/fintech).
Namun, teknologi sendiri tidak peka terhadap nilai, terutama aspek agama
sebagaimana dalam perbankan syariah yang memiliki sistem sendiri.
Perkembangan
perbankan syariah dan kesadaran masyarakat dalam melakukan transaksi perbankan
di bank syariah, terkadang mendapat tantangan berupa kemudahan-kemudahan dari
perbankan dan pendanaan konvensional secara online. Belum lagi dari lembaga
dengan sistem crouwd funding yang bisa menghimpun dana khalayak, meskipun
mereka bukan lembaga keuangan. Sisi lain yang mendasar adalah uang itu sendiri
yang dipandang berbeda dari pendukung bank konvensional dan bank syariah.
Perbankan
syariah bukanlah suatu lembaga yang kaku dengan sumber daya manusia yang
statis. Namun perkembangan zaman dan trend
dunia luar terkait perbankan khususnya syariah menjadi tantangan tersendiri,
apakah diikuti, ditinggalkan atau moderat sesuai aturan syariah. Untuk itu dalam
tulisan ini akan diuraikan perihal digital
banking dan financial technology
(fintech) terkait perbankan syariah
dengan harapan dan tantangannya.
B.
Digital
Banking dan Fintech
Berdasarkan katanya, digital berarti sesuatu yang berhubungan
dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu atau
sesuatu yang berhubungan berhubungan dengan penomoran[iv]. Sementara
menurut wikipedia Digital berasal
dari kata Digitus (Yunani) berarti
jari jemari. Nilai sepuluh (10) pada jari manusia tersebut terdiri dari 2
radix, yaitu 1 dan 0, oleh karena itu Digital merupakan penggambaran
dari angka 0 dan 1 atau off dan on (bilangan biner). Semua
sistem komputer menggunakan sistem digital sebagai basis datanya.[v]
Berdasarkan pengertiannya, digital banking mengacu kepada
layanan keuangan kemudahan transaksi yang menggunakan sistem digital dalam
operasi dan teknologinya.[vi]
Secara sederhana layanan digital merupakan kemudahan sebagian transaksi
perbankan menggunakan telepon seluler/genggam. Saat ini kemudahan ini didukung
dengan munculnya smartphone (telepon
pintar) yang memiliki fitur terintegrasi hampir semua teknologi informasi dan
komunikasi yang ada.
Sedikit berbeda dengan teknologi digital, teknologi keuangan
(financial technology) merupakan
bagian penerapan teknologi digital untuk kemudahan transaksi keuangan atau
perbankan. National
Digital Research Centre (NDRC) mendefinisikan fintech sebagai istilah yang dapat digunakan untuk menyebut inovasi
dalam bidang jasa keuangan atau
finansial. Bisa juga dengan inovasi finansial yang diberi
sentuhan teknologi modern. Bisa juga dengan arti
segmen di dunia start up yang membantu untuk memaksimalkan dalam penggunaan
teknologi untuk mengubah, mempertajam atau mempercepat berbagai aspek pelayanan
keuangan.[vii]
Oseni dan Ali menyatakan Fintech
harus dipahami sebagai teknologi yang mencakup seluruh aspek aplikasi
kelanjutan teknologi dalam mengirim, memfasilitasi, ataupun kemudahan layanan
finansial.[viii]
Kebutuhan terhadap solusi fintech dinyatakan dengan
besarnya adopsi teknologi, penggunaan mobil dengan level tinggi, mencapai laju
penetrasi internet, bertambahnya urbanisasi, masyarakat berpendidikan dan masih
muda, sama seperti segmen nasabah kalangan
yang belum terlayani dengan solusi perbankan tradisional. Faktor-faktor ini dan
potensi ekonomi dari teknologi baru menarik banyak para investor untuk sektor
ini.[ix]
Berikut ini beberapa kemudahan dalam digital
banking: 1) Meningkatkan mobilitas; para nasabah tak perlu lagi antri, ke
kantor, berjumpa dalam transaksinya, bahkan saat ini bisa secara global, 2) Memperbesar
kesempatan; para pengguna tidak lagi khawatir karena rentang waktu yang singkat
dan banyaknya pilihan, 3) Ramah lingkungan; penggunaan kertas dari kayu dan
tinta kimia dapat dihindari, 4) Mudah dan praktis; transaksi dapat dilakukan
24/7 kapan dan dimana saja.[x]
1.
Ranah
Besar Fintech
Perbankan yang menerapkan teknologi
terkini dalam operasinya akan terus bertahan. Setidaknya jika dilihat dari
aktivitas perbankan saat ini, fintech mencakup:
a. teknologi
uang itu sendiri, saat ini terdapat uang kertas/fiat, e-money, coin, dan cryptocurrency
b. para
nasabah, para pengguna jasa perbankan dengan ragam usia, skill dan pandangan
c. lembaga
perbankan, yang memiliki kebijakan terhadap keuangan, termasuk produk dan
teknologi
d. regulator,
lembaga atau pemerintah yang mengatur dan mengawasi transaksi pengguna jasa
perbankan
Terkait uang, pada dasarnya uang
kertas dan e-money sama saja, namun e-money merupakan perwakilan uang kertas
dalam bentuk nominal digital. Berbeda dengan uang kertas, coin logam seperti
dinar/dirham merupakan uang sejati yang telah wujud sebelum masehi. Untuk yang
terakhir, cryptocurrency memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketiganya.
Namun hampir sama dengan dinar yang terbatas jumlahnya, ditambang dan dapat
dipecah dengan nilai fraksinya. Hanya nilai intrinsik saja yang tidak dimiliki
ketiga jenis uang tersebut selain coin.
Untuk nasabah sendiri, kalangannya dibagi
menjadi usia muda dan tua, melek teknologi dan tidak, berulang atau jarang,
pasif atau aktif. Kemudahan-kemudahan dan sifat literat terhadap teknologi
keuangan ini menjadikan banyak kalangan muda mulai memasuki dunia bisnis dan
perbankan.
Perbankan sebagai lembaga kuangan
yang diakui pemerintah selalu berhadapan dengan perkembangan teknologi,
terlebih teknologi digital. Mau tidak mau, harus ada investasi dan biaya untuk
mengimplementasikannya kepada khalayak umum, terutama para nasabahnya.
Ketertinggalan perbankan dalam teknologi digital dan internet serta regulasi
yang ketat menjadikan para nasabah mencari alternatif baru dalam transaksinya,
seperti penggunaan crypto sebagai pengganti biaya remitansi.
2.
Isu
Besar Dalam Fintech
Simon Cox mengatakan bahwa keuangan
dan teknologi selalu terkait erat. Uang adalah alat yang memungkinkan
masyarakat melakukan hal-hal tertentu yang tanpanya kita tidak bisa
melakukannya dengan sangat efisien. Jadi, keuangan sudah 100 persen teknologi
apalagi dihubungkan dengan perkembangan Big
Data Analysis dan Cloud Computing.
Menurutnya terdapat 5 masalah fintech saat ini, antara lain:
1) Anggaran
yang ketat: dibutuhkan dana untuk teknologi terkini, namun juga dipandang
sebagai pengeluaran ketimbang investasi
2) Sistem
warisan: sisa sistem dan teknologi baru harus bisa berjalan sepadan, tanpa
meruntuhkan sistem lama
3) Peraturan:
terdapat kesenjangan sistem teknologi dengan peningkatan regulasi akibat krisis
keuangan yang lalu
4) Kecelakaan:
terdapat kegagalan teknologi pada beberapa lembaga keuangan yang menerapkannya,
trauma dalam implementasi dan sangat hati-hati
5) Menjadi
hijau: selalu terjadi perbedaan antar ide dan kenyataan, seperti sumber daya
alam dan energi dalam mewujudkan operasi yang ramah lingkungan.[xi]
3.
Masa
Depan Fintech
Simon Cox memprediksi masa depan fintech
terkait dengan beberapa hal berikut, antara lain: Mata uang virtual,
perdagangan yang didukung neutrino, teknologi dan modal.[xii]
Untuk yang pertama, mata uang virtual (cryptocurrency) yang telah mengglobal
antara lain Bitcoin, Etherium dan Ripple. Ketiganya merupakan peringkat
teratas dalam volume transaksi harian. Ripple sendiri banyak digunakan
perbankan untuk pengiriman uang ke luar negeri demi menghindari biaya
remitansi, karena fluktuasinya yang kecil dalam sehari.
Peningkatan kecepatan transmisi data
saat ini dapat dilakukan dengan neutrino, ini sangat penting karena
neutrinomampu menembus bumi, sehingga transaksi nantinya akan menjadi lebih
cepat dibandingkan dengan internet fiber optik yang sudah ada. Untuk investasi
sarana fintech terbaru ini diperlukan teknologi dan modal yang sangat besar.
Kepiawaian dalam investasi dan pemodalan sangat menentukan masa depan lembaga
keuangan.
Saat ini, dunia perbankan mendapat
tantangan baru berupa hadirnya mata uang virtual atau cryptocurrency. Terdapat lebih dari 2000 mata uang crypto yang
listing di coinmarketcap, dengan bitcoin di peringkat pertama. Para pengguna
crypto mengatakan Bitcoin sebagai induknya cryptocurrency, karena semua crypto
mengacu kepada bitcoin sebagai tolok ukur pertukarannya.
4.
Fenomena
Baru Digital dan Fintech
a.
Bitcoin
dan Blockchain
Bitcoin menggunakan teknologi blockchain
dalam transaksinya, dimana semua data tersentralisasi, tersebar dan tidak ada
yang bisa menambah, mengedit data yang sudah pernah dicatat ke dalam blok-blok
di setiap tambang (komputer server). Semua server desentralisasi ini saling
konfirmasi jika ada penambahan data, mirip buku besar yang memiliki time stamp
setiap transaksinya. Untuk menghapus data dari blockchain haruslah menghapus
atau menghancurkan seluruh server tersebut (bisa tersebar di 200 negara), namun
uniknya semua orang bisa ikutan mengaitkan servernya untuk menambang crypto ini.
b.
Auto
Responder Robot
Robot disini merupakan software yang
diprogram dan dikembangkan berdasarkan prinsip Artificial Inteligence. Software
ini mampu menjawab bahkan bertanya tentang kebutuhan seseorang berdasarkan
input data yang dimasukkan, baik berupa teks, gambar maupun suara. Beberapa
tahun ke depan kebutuhan akan robot ini dipastikan meningkat, mengingat
tugas-tugas seperti konsultan hukum, keuangan dan layanan customer service dapat diwakilkan oleh robot ini. Sampai anjuran
mengambil keputusan membeli atau melepas saham dapat dilakukannya.
c.
Teknologi
Artificial Intelligence (AI)
Penerapan AI dan menggandengnya dalam
merekrut nasabah sangat diperlukan, mengingat jika dilakukan secara
konvensional akan memakan banyak biaya dan waktu. Data-data yang telah ada di
internet, maupun yang terkoneksi dengannya dapat diolah dengan teknologi ini.
Sebagaimana facebook yang memiliki milyaran data manusia, dapat
diklasifikasikan dengan baik dan benar berdasarkan umur, penghasilan, hobby
bahkan jejak belanja beberapa bulan terakhir. AI sangat membantu dalam
menganalisis data dan memetakannya serta mengambil kesimpulan.
Selain penerapan di atas, AI dapat pula
ikut andil bagian dalam cloud computing,
data mining, big data analysis dan
lainnya yang sangat menentukan dunia fintech ke depannya. Namun dari sisi
perbankan syariah, apakah dibenarkan atau tidak, perlu tinjauan dan ketegasan,
mengingat aspek-aspek positif dan negatif pasti ikut di dalamnya.
C.
Fintech
Dalam Perbankan Syariah
1.
Perbankan
Syariah Mengikuti Regulasi
Pada dasarnya, kegiatan perbankan
baik konvensional maupun syariah selalu berada di seputar ranah perbankan itu
sendiri: uang, nasabah, lembaga dan regulator. Produk-produknya masih berupa
produk lama seperti KPR, KKB, simpan, pinjam dan lainnya dengan pola sama.
Adapun perbedaan antara konvensional dan syariah lebih mengacu kepada akad transaksinya.
Belum terdapat produk baru
perbankan, khususnya produk perbankan syariah. Sebagai contoh, peraturan OJK (No.
77/POJK.01/2016) tentang layanan fintech berfokus pada bolehnya melakukan
transaksi keuangan menggunakan sistem elektronik dan internet. Dalam sistem
syariahnya, teknologi digital dan internet untuk transaksi tetap mengacu kepada
konsep murabahah, salam, istisna, mudharabah, musyarakah dan ijarah. Dengan
adanya teknologi ini, transaksi lebih cenderung terlaksana real time, beda
tempat (jauh) dan pernyataan ijab kabul dalam bentuk pilihan-pilihan tertulis
yang mudah dipahami.
Salah satu contoh kemudahan dalam
fintech syariah adalah sistem mudharabah fintech. Dengan adanya kepercayaan
investor (shohibul maal), sistem akuntansi yang online dan realtime
memudahkan investor dari segala penjuru untuk menyertakan modalnya. Begitu juga
dengan laporan keuangan serta informasi bagi hasil yang mudah diperoleh. Untuk
audit, dengan adanya perkembangan teknologi digital forensik, penyalahgunaan
laporan keuangan dapat ditelusuri.[xiii]
Saat ini telah digagas pula penggunaan blockchain (lawan dari centralized server) untuk rekam
akuntansi dan menghindari manipulasi.
Dalam beberapa tahun belakangan ini
telah digagas pula penerapan teknologi blockchain dalam pengelolaan wakaf.
Mengingat wakaf pada dasarnya merupakan pemberian sukarela dengan nilai awal
wakaf yang tetap dan hasilnya dapat dirasakan seluruh umat, sudah sewajarnya
pengelolaannya harus transparan. Blockchain memberi kemudahan tersebut, apalagi
dikaitkan dengan bank wakaf yang dinilai mampu mengakomodir nominal-nominal
kecil patungan untuk keperluan wakaf.
2.
Fintech
Syariah Mendukung Uang Sejati
Saat ini terdapat banyak komunitas
yang ingin mengembalikan supremasi dinar (emas) dan dirham (perak) yang sudah
terbukti sepanjang zaman tahan inflasi dan memiliki nilai intrinsik. Namun
regulasi-regulasi tiap negara berbeda-beda, termasuk Indonesia yang berafiliasi
dengan IMF yang melarang emas sebagai alat transaksi yang sah.[xiv]
Namun komunitas-komunitas ini menggunakan ragam cara sehingga tidak melanggar
aturan BI dalam bentuk alat bantu tukar bayar.
Selain kembali kepada Dinar/Dirham,
beberapa kalangan menggunakan cryptorrency seperti Bitcoin dengan teknologi blockchain untuk alat transaksi global.
Meski tidak ada regulator dan negara asal
serta berisiko, para investor dan pencari jalan keluar tetap
menggaungkannya. Gagasan dan perilaku ini merupakan bentuk perlawanan terhadap
hegemoni Dollar Amerika yang memperparah kondisi kesejahteraan masyarakat
dunia. Ide penggunaan blockchain
sebagai pendukung distribusi dinar juga mendapat apresiasi dari Umar Vadillo.[xv]
Kalangan yang berkeinginan untuk
kembali kepada uang sejati juga menolak e-money sebagai alat bayar, karena ini
dianggap hanya perwakilan uang fiat dan bahkan secara tidak langsung mewujudkan
uang baru dalam setiap pencetakan e-money tersebut. Teknologi blockchain
dipandang dapat menjadi ujung tombak distribusi dinar dan dirham, tanpa harus
diatur regulasi yang ketat.
Penulis sendiri menggagas untuk
mewujudkan lembaran uang dengan penyisipan serat emas ditambah teknologi chip
yang di dalamnya dan terhubung dengan blockchain di seluruh dunia. Selanjutnya
diharapkan perbankan syariah selalu berupaya agar teknologi terkini dalam
fintech secepatnya diimplementasikan, mengingat ini dapat meningkatkan daya
saing sesama lembaga keuangan.
D.
Simpulan
dan Saran
1.
Simpulan
Pada dasarnya fintech merupakan
penerapan teknologi digital di bidang perbankan untuk kemudahan transaksi para
nasabah dan lembaga keuangan serta pihak pengatur regulasi. Terdapat kemudahan
dalam penggunaan fintech, terutama bersifat mobil
dan on demand kapan dan dimana saja.
Hampir semua transaksi perbankan syariah dapat mengikuti kemajuan fintech,
karena pada dasarnya hanya beda di akad.
2.
Saran
Sejatinya perbankan syariah
secepatnya mengimplementasikan fintech dalam transaksi nasabah setelah
melakukan penilaian yang mumpuni. Sejalan dengan perkembangan dan gagasan
komunitas-komunitas yang menginginkan wujud keuangan yang benar-benar syariah
(uang dengan nilai intrinsik), ada baiknya pemanfaatan teknologi blockchain
diadopsi untuk mendukung terwujudnya tujuan tersebut.
[ii] http://rizkifajarista.blogspot.com/2016/03/sejarah-dan-perkembangan-teknologi.html
(diakses 10 Okt 2019)
[viii] Umar A. Oseni and S. Nazim Ali, (2019). Fintech In Islamic Finance: Theory and
Practice. Newyork: Routledge.
[xiii] Murniati Mukhlisin. Isyu Legalitas, Akuntansi,
Audit, Tata Keloladan Etika Fintech Syariah.
Materi Seminar Nasional Fintech Syariah di STIE Tadzkia, Bogor.
(30 Sep 2017).
[xiv] Muhaimin Iqbal. (2008). Dinar Solution: Dinar Sebagai Solusi. Jakarta:
Gema Insani Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar