KONSTRUKSI AKAD ISTISHNA’ DALAM
PEMBIYAAN BANK SYARIAH
Oleh: Pandapotan
Harahap
A.
Pendahuluan
Sistem perbankan syari’ah menurut
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, adalah sangat mendasar
untuk diketahui terlebih dahulu mengapa bank syari’ah perlu dikembangkan di
Indonesia. Dewasa ini banyak pihak yang memiliki keyakinan bahwa produk dan
jasa perbankan syari’ah memiliki karakteristik antara lain: a) peniadaan pembebanan
bunga yang berkesinambungan, b) membatasi kegiatan spekulasi yang tidak
produktif, dan c) prinsip bahwa pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang
halal sesuai dengan prinsip syari’ah dan memiliki keunggulan komparatif
terhadap sistem perbankan konvensional.[1]
Selain itu sistem perbankan syari’ah yang
menerapkan pola pembiayaan usaha dengan prinsip bagi hasil sebagai salah satu
pokok dalam kegiatan perbankan syari’ah juga akan menunjukkan dan menumbuhkan
rasa tangung jawab pada masing-masing pihak, baik pihak bank maupun pihak
debiturnya, sehingga dalam menjalankan kegiatannya semua pihak pada hakikatnya
akan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan akan memperkecil kemungkinan
resiko terjadinya kegagalan usaha.[2]
Kekuatan
sistem perbankan syari’ah sebenarnya terletak pada dibinanya kebersamaan antara
ketiga pihak, yaitu: nasabah penyimpan dana, bank dan nasabah peminjam atau
penerima pembiayaan karena tidak ada pergeseran (shifting) cost of found maka tidak ada pihak yang selalu di
untungkan karena bebas cost of found-nya,
dan tidak ada yang selalu menanggung cost
of found di ujung proses.[3] Di
sini jelas diantara ketiganya tidak ada perbedaan kepentingan, karena ketiganya
mempunyai kepentingan yang sama yaitu memperoleh keuntungan yang optimal baik
dalam keadaan krisis global pada saat ini maupun dalam keadaan normal. Dengan
kebersamaan dalam kepentingan yang sama untuk memperoleh keuntungan yang
optimal baik dalam keadaan apapun, maka tidak mengherankan lagi apabila
perbankan syariah tidak terkena krisis global.
Dalam tulisan ini akan dibahas masalah
konstruksi akad istisna’pembiayaan bank syariah yang meliputi: pembiayaan modal
kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumtif.
B.
Bai’ Al Istisna
Jual beli pada umumnya terbagi menjadi tiga
macam: 1) Jual beli barang yang
tampak oleh mata, yaitu jual beli yang ketika akad dilakukan barang tersebut
sudah ada dan langsung diterima oleh pembeli; 2) Jual beli barang yang tidak
tampak oleh mata, karena ketiadaan barang tersebut maka pembeli bisa
mendapatkan barang tersebut dengan cara dipesan. Sebagai konsekuensinya,
penjual menjadi jaminan akan adanya barang tersebut di kemudian hari. Dapat
dengan cara dibayar diawal,dicicil ataupun diakhir; dan 3) Jual beli barang ghaib, yaitu jual beli yang barang
tersebut tidak pernah ada sehingga jual beli ini hukumnya haram.[4]
Berdasarkan tiga macam jenis jual-beli di
atas, terdapat transaksi Bai’ as Salam (pre-order) dan Bai’ al Istisna’, dimana keduanya memenuhi kriteria tidak wujudnya
barang saat akad dilakukan. Bai’
Al-Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani) dengan harga yang
disepakati bersama oleh kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi
ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan
pembayaran di muka secara bertahap, sesuai tahap-tahapan proses produksi.
1.
Pengertian Akad Istishna
Istishna adalah
memesan kepada perusahaan/lembaga untuk memproduksi barang atau komoditas
tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli
dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward
kedua (setelah salam) yang dibolehkan syariah.[5] Secara bahasa, istishna berasal
dari kata shana’a yang artinya membuat. Karena ada penambahan
huruf alif, sin dan ta maka makna yang
terbentuk adalah meminta atau memohon untuk dibuatkan. Secara istilah,
Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Terkadang disebut sebagai akad untuk pembelian barang yang akan dibuat bahan
dan pembuatan dari pembuat. Apabila bahan dari suatu barang berasal dari
pemesan yang disebut mustashni maka akad ini berubah
menjadi akad ijarah.
Sedangkan penerapannya yaitu konsumen
melakukan pembayaran cicilan pembiayaan objek istishna’ atas pemesanan barang
sejak akad ditandatangani atau dengan cara pembayaran lain yang disepakati.
Sementara penetapan harga jual atas objek istishna’ wajib ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dan konsumen sebagai
pembeli atau pemesan di awal perjanjian dan tidak boleh berubah-ubah selama
masa istishna’.Sedangkan pencairan dana diserahkan kepada nasabah.
2.
Landasan Hukum Istishna
Landasan hukum pada istishna didasarkan
pada qiyas terhadap akad salam, yaitu jual
beli yang tidak ada barangnya ketika sesi akad sedang berlangsung. Ulama yang menganggap akad istishna’
tidak diperbolehkan diantaranya ialah ulama pengikut mazhab Hanbali dengan
dasar bahwa dalam akad istishna’ terdapat potensi seorang produsen menjual
barang yang belum ia miliki, dengan argumen hadits dari Abu Dawud: “Janganlah engkau menjual
sesuatu yang tidak ada padamu.”[6]
Ulama Hanafiah melandaskan diperbolehkannya
istishna’ atas “istihsan” dari mu’amalah manusia dengan lainnya dan kebiasaan
mereka di setiap kurun yang melakukan pemesaan tanpa ada pengingkaran. Adapun
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memperbolehkan atas dasar qiyas terhadap salam
dan urf dari masyarakat dengan persyaratan sebagaimana akad
salam.[7]
Pendapat para ulama tersebut tentunya tidak
terlepas dari sumber utama yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. Ayat yang menjadi
landasan hukum istishna adalah QS. Al-Baqarah : 275 yang
artinya, “dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba”.[8]
Kemudian pada hadist Nabi SAW, Diriwayatkan dari sahabat
Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada
beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan
perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau
putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim).[9]
Merujuk pada hadist ini maka dapat disimpulkan
bahwa akad istishna diperbolehkan. Kemudian sebagian ulama’
menyatakan melalui ijma’nya bahwa akad istishna’ adalah akad
yang dibenarkan dan juga telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang
sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan
untuk melarangnya.
Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI
sebagai lembaga yang berwenang mengakomodir legalisasi sebuah produk telah
melegalkan akad istishna dengan dikeluarkannya fatwa DSN MUI
06/DSN-MUI/VI/2000 tentang Istishna. Dalam fatwa ini mencakup
beberapa hal yaitu ketentuan tentang pembayaran dan ketentuan tentang barangnya
3.
Ketentuan Akad dan Objek Istishna
Dalam melakukan akad istishna utamanya
dalam mekanisme pembayaran, perlu ada hal-hal yang harus diperhatikan
diantaranya:
1.
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat.
2.
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Rukun dari akad istishna yang harus
dipenuhi dalam transaksi antara lain:
- Pelaku
akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan;
2.
Objek akad, yaitu
barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman); dan
Kemudian dari segi barang yang diperjual belikan
dalam akad istishna juga perlu memperhatikan hal-hal yang
membuat akad istishna menjadi sah untuk dilakukan diantaranya:
1.
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang
2.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya
3.
Penyerahannya dilakukan kemudian
4.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan
5.
Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya
6.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan
7.
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
4.
Perbedaan Akad Istishna dan
Akad Salam
Meskipun terlihat sama, namun akad istishna dan
akad salam[11] memiliki
perbedaan. Dari segi istilah/term yang digunakan untuk penamaan
objek, bila akad salam disebut Muslam Fihi sedangkan
akad istishna disebut Mashnu.
Dilihat dari sisi harga, akad salam dibayar
langsung saat terjadi kontrak. Jadi ketika hendak memesan suatu barang, harus dibayar
langsung harga barang yang dipesan di awal ketika akad terjadi. Sedangkan pada
akad istishna, pembayaran bisa lebih fleksibel, bisa membayar
pas diawal kontrak, cara angsur, atau bisa dibayar dikemudian hari. Inilah yang
menjadi inti perbedaan antara akad istishna’ dengan akad salam.
Pada sisi sifat kontrak, akad salam memiliki
sifat mengikat secara asli (thabi’i) sedangkan akad istishna memiliki
sifat mengikat secara ikutan (taba’i). Maksudnya pada akad salam mengikat
semua pihak sejak semula sedangkan istishna menjadi pengikat
untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen
secara tidak bertanggung jawab. Selain itu, perbedaan akad salam dengan
akad istishna adalah sifat barangnya. Dalam akad salam barangnya
mesti sudah ada contohnya sedangkan dalam akad istishna barangnya
masih berbentuk gambaran atau belum ada wujudnya.
5.
Praktek Akad Istishna Dalam Kehidupan
Sehari-Hari
(Klasik)
Akad istishna sering
diterapkan pada produk-produk yang sifatnya untuk konstruksi seperti bahan
bangunan ataupun furniture. Sedangkan akad salam lebih sering
digunakan untuk produk-produk seperti buah-buahan dan sebagainya. Mengapa
berbeda? Karena pada produk buah-buahan, contoh buah tersebut sudah pernah ada.
Adapun karena jumlahnya terbatas maka perlu dipesan terlebih dahulu. Ditambah
penjual tidak perlu membuatkannya terlebih dahulu apalagi sampai menuruti
spesifikasi yang diminta pembeli karena buah pada umumnya memiliki bentuk yang
sama.
Penjual yang merupakan petani hanya perlu
menanamkan bibit tanaman yang dipesan kemudian dirawat sampai tanaman tersebut
menumbuhkan buah yang kemudian akan diserahkan kepada pembeli. Lain halnya
dengan barang-barang seperti furniture yang mana pembeli perlu
memberikan secara spesifik barang furniture yang dibutuhkan.
Misal, kalau ia memerlukan sebuah lemari maka pembeli harus menyebutkan secara
jelas seperti jumlah pintu lemari, ada kaca atau enggak dan sebagainya. Setelah
spesifikasi disepakati maka pembeli bisa menyerahkan uangnya langsung,
belakangan setelah barangnya jadi atau dengan cara dicicil.
Kontrak istishna’ di atas adalah istishna’
yang selama ini dibahas secara saksama oleh para ulama terdahulu di dalam
kepustakaaan yurisprudensi Islam (istishna klasik). Istishna‘
tipe ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu
pembeli selaku mustashni’ dan pemanufaktur selaku sani’.[12]
Skema Akad Istishna (Klasik)
Gambar di atas adalah skema akad istishna klasik
dengan rincian sebagai berikut:
1.
Pelanggan meminta
manufaktur (pembuat) membangun baginya suatu aset terperinci dengan suatu harga
yang telah disepakati yang mana bisa dibayar satu periode dan barang
disampaikan pada tanggal yang ditentukan
2.
Pelanggan membayar
harga aset yang telah disepakati kepada pemanufaktur dengan basis angsur atau
kontan
3.
Pemanufaktur
menyerahkan aset yang sudah diselesaikan kepada pelanggan pada tanggal yang
telah ditentukan.[13]
6.
Akad Istishna’ Paralel
Pada istishna paralel terdapat tiga
pihak yang terlihat, yaitu bank, nasabah dan pemasok. Pembiayaan dilakukan
karena nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama
masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiyaan dari bank. Atas
pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari
jualbeli barang yang terjadi. Margin diperboleh dari selisih harga beli bank
kepada pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank
mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.
Skema
Akad Istishna Paralel
Gambar di atas adalah skema akad istishna dimana
bank syariah diposisikan sebagai penjual. Dalam hal ini nasabah memesan barang
yang sesuai spesifikasi kepada bank. Ketika sepakat, bank memesan barang
tersebut kepada produsen pembuat. Sembari barang tersebut dibuat, nasabah
membayar uang kepada bank bisa dengan cara bayar diawal, dicicil ataupun
diakhir. Ketika barang tersebut jadi maka barang dikirimkan langsung kepada
nasabah pemesan.
Skema Akad Istishna (produsen dipilih bank)
Pada skema produsen
dipilih bank, maka bank syariah diposisikan sebagai penjual. Dalam hal ini nasabah
memesan barang yang sesuai spesifikasi kepada bank. Ketika sepakat, bank
memesan barang tersebut kepada produsen pembuat. Sembari barang tersebut
dibuat, nasabah membayar uang kepada bank bisa dengan cara bayar diawal,
dicicil ataupun diakhir. Ketika barang tersebut jadi maka barang dikirimkan
langsung kepada nasabah pemesan.[14]
Skema Akad Istishna (produsen dipilih nasabah)
Pada akad istishna dimana produsen
dipilih nasabah, maka sistematikanya menjadi:
1.
Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual atau bank
mewakilkan nasabah untuk memesan kepada produsen.
2.
Bank menjual kepada pembeli/ nasabah
3.
Bank syariah membeli dan memesan barang sesuai dengan pesanan
yang telah di perjanjikan antara pihak bank dan pembeli atau nasabah.[15]
C.
Pembiayaan Syariah & Kebutuhan
Nasabah
Sistem pembiayaan syariah secara yuridis ada
tiga, yaitu: 1) Pembiayaan bagi hasil (terdiri dari mudharabah dan musyarakah),
2) Pembiayaan jual beli (terdiri dari murabahah,
istisna dan salam), dan 3) Pembiayaan sewa menyewa (ijarah murni dan ijarah
muntahia bittamlik).[16]
Teknik
pertama yang perlu dilakukan dalam mendesain suatu akad pembiayaan
syariah adalah memahami karaktersitik kebutuhan nasabah.
1.
Objek dan Kegunaan
Teknik pertama yang perlu dilakukan
untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami karakteristik
kebutuhan nasabah, yakni Objek dan Kegunaannya. Jika objek berupa barang,
maka harus dilihat barang tersebut ready
stock atau goods in process.
Untuk barang ready stock, maka pembiayaan yang sesuai adalah murabahah.
Sebaliknya untuk barang goods in proscess, maka dilihat dulu jangkanya, pendek
atau panjang. Untuk jangka pendek maka pembiayaan salam dengan asumsi nasabah
akan mampu menyelesaikan kewajibannya dalam satu kali pembayaran sekaligus.
Sebaliknya untuk jangka panjang digunakan pembiayaan istishna’ dan dapat
dilakukan beberapa kali pembayaran. Namun, jika objek pembiayaan berupa jasa,
maka pembiayaan harus berbentuk pembiayaan ijarah.[17]
Bagan 1. Karakteristik kebutuhan nasabah: objek
Hal kedua
yang harus dilihat untuk memamhami karakteristik kebutuhan nasabah adalah dari sisi kegunaan barang atau jasa yang dibutuhkan. Hal
utama yang harus dicermati adalah untuk kegiatan konsumtif atau produktif. Jika
produktif, apakah akan digunakan untuk modal kerja atau investasi.
Bagan 2. Karakteristik kebutuhan nasabah: Kegunaan
2.
Modal Kerja, Investasi dan
Konsumtif
Pembiayaan modal kerja dapat digunakan untuk
barang atau jasa dan harus dilihat apakah nasabah telah memiliki kontrak dengan
pihak ketiga atau tidak. Jika telah memiliki kontrak, harus ditelaah kembali
apakah pembiayaannya untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan
barang. Jika untuk pekerjaan konstruksi maka bank syariah dapat memberikan
pembiyaan istishna’. Namun jika untuk pengadaan barang, maka pembiayaannya
berupa mudharabah.[18] Jika modal kerja dalam
jangka pendek, maka digunakan pembiayaan salam, sebaliknya digunakan pembiayaan istishna
untuk jangka panjang.[19]
Bagan 3. Karakteristik kebutuhan nasabah: Modal kerja
Dalam hal penggunaan
biaya untuk investasi, maka kembali dianalisis ready stock atau Goods in process.
Jika kondisinya ready stock dan jangka panjang, maka digunakan pembiayuaan IMBT
(Ijarah Muntahia Bit Tamlik). Namun
jika jangka pendek, maka pembiayaannya masuk kepada murabahah.[20]
Selanjutnya jika
investasi tersebut masuk kategori Good in
Process dan jangka pendek, akadnya
pembiayaan salam. Sebaliknya untuk kategori ini dan jangka panjang, maka
pembiayaannya adalah istishna’.[21] Bagan alur untuk
pembiayaan investasi dapat dilihat pada gambar berikut:
Bagan 4. Karakteristik kebutuhan nasabah: investasi
Selain dari kedua
pembiayaan modal kerja dan investasi di atas, terdapat pula pembiayaan
konsumtif. Pembiayaan inipun harus memperhatikan keperluan pembelian barang
atau jasa. Jika untuk barang dan ready
stock, maka masuk pada pembiayaan murabahah,
namun jika termasuk goods in process perlu
kembali jangka waktunya: salam untuk
jangka pendek dan istishna untuk
jangka panjang. Jika kebutuhan nasabah berupa jasa, maka pembiayaan yang
diberikan adalah ijarah. Bagan alur
untuk pembiayaan konsumtif dapat dilihat pada gambar berikut:
Bagan 5. Karakteristik
kebutuhan nasabah: Konsumtif
3.
Kemampuan Nasabah
Dalam mendesain suatu
akad pembiayaan syariah adalah kemampuan nasabah. Perlu diperhatikan sisi
pendapatan nasabah, yakni: highly
predicable (pendapatan nasabah yang sangat bisa diprediksi) atau tidak.
Jika memenuhi, maka akan ditinjau bentuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan
barang. Untuk konstruksi digunakan istishna’ dan untuk pengadaan barang
digunakan pembiayaan mudharabah (kecuali usaha skala kecil).
Jika nasabah tidak
termasuk memiliki pendapatan yang dapat diprediksi dengan baik, maka kembali
ditinjau barang yang akan dibiayai, jika masuk kategori ready stock, maka pembiayaannya murabahah, dan apabila kategori goods in progress, maka pembiayaannya salam (kurang dari 6 bulan) serta
istishna’ (lebih dari 6 bulan)[22]. Bagan
alur untuk kemampuan nasabah dapat dilihat pada gambar berikut:
Bagan 6. Analisis
Kemampuan Nasabah
4.
Praktik dan Mekanisme Akad
Istishna’ dalam Masa Kontemporer
Akad istishna saat ini sering
diterapkan pada produk pembiayaan rumah syariah atau biasa disebut KPR Syariah.
Salah satu bank yang menerapkan pembiayaan KPR Syariah dengan akad istishna adalah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Penerapan akad istishna pada
proses KPR Syariah akan memudahkan nasabah dan akan membuat BPRS lebih unggul
dibandingkan konvensional.
Nasabah bisa memesan rumah sesuai spesifikasi
yang diinginkan kepada penjual yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh BPRS atau
bank syariah lainnya. Setelah kesepakatan terkait spesifikasi rumah telah
terselesaikan maka pemesan alias nasabah bisa menentukan metode pembayaran yang
diinginkan. Setidaknya ada 2 skema/cara yang diberikan.
a. Skema Pertama
Nasabah bisa membayar rumah dengan skema
pembayaran per bagian rumah. Jadi setiap ada bagian rumah yang jadi nasabah
membayar atas bagian rumah yang sudah jadi tersebut. Ilustrasi sederhananya,
misal si Fauzan ingin membeli rumah. Ia membeli rumah melalui BPRS Sejahtera.
BPRS menawarkan skema akad istishna untuk pembelian rumah.
Fauzan setuju, lalu ia menjabarkan spesifikasi rumah yang diinginkan. Kemudian,
BPRS Sejahtera menghitung biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membuat rumah
sesuai sepesifikasi yang disampaikan.
Dalam skema perhitungan, BPRS akan menambahkan
biaya jasa sebagai keuntungan yang berhak mereka dapatkan atas pemesanan rumah
tersebut. Setelah perhitungan selesai, disampaikan perhitungan tersebut kepada
Fauzan dan Fauzan menyepakati perhitungan yang diberikan. Fauzan membayar
dengan cara pembayaran setiap bagian rumah. Jadi, jikalau dalam proses
pembuatan rumah tersebut ada bagian-bagian yang sudah mulai jadi Fauzan akan
membayarnya. Kalau pondasi udah jadi, Fauzan membayar cicilan pertama. Kemudian
ketika dinding udah jadi, Fauzan membayar cicilan kedua. Begitupun seterusnya
sampai rumah tersebut jadi dan siap untuk digunakan.
b. Skema Kedua
Nasabah bisa membayar
rumah dengan skema cicilan tanpa perlu menunggu setiap bagian rumah tersebut
jadi. Misal si Haruman ingin membeli rumah dengan cara cicil. Ia memesan rumah
tersebut kepada BPRS Sentosa. BPRS menawarkan skema akad istishna. Kemudian
Haruman menyampaikan spesifikasi rumah yang diinginkan. Kemudian, BPRS akan
menghitung biaya-biaya yang diperlukan ditambah biaya jasa. Setelah terhitung,
disampaikan hitungan tersebut kepada Haruman. Ia menyepakati termasuk jumlah
cicilan yang harus dibayarkan per bulan. Katakanlah total harga rumah yang
dipesan adalah 250 juta. Kemudian BPRS memberikan tambahan margin sebanyak 30
juta sebagai biaya jasa sehingga total menjadi 280 juta. Durasi pembayaran
adalah selama 28 bulan sehingga setiap bulan Haruman harus mencicil sebanyak 10
juta per bulan.
5.
Kendala Akad Istishna’ pada KPR
Syariah
Meskipun memiliki potensi
yang besar dalam menggalakkan sektor properti untuk masyarakat, masih jarang
Bank Syariah yang menerapkannya karena kendala menjaga amanah terhadap
spesifikasi yang disampaikan oleh nasabah. Kemudian literasi tentang muamalah
kontemporer[23]
khususnya akad istishna dan penerapannya pada dunia perbankan juga
masih banyak kurang dipahami terutama bagi mereka yang merupakan praktisi
perbankan.
D.
Penutup
1. Kesimpulan
Pada dasarnya
transaksi istishna’ diperbolehkan dalam muamalah, dimana transaksi ini masuk
pada kategori non tunai untuk barang/jasa yang diperdagangkan. Dalam pembiayaan
syariah, diperlukan pemahaman karakteristik kebutuhan nasabah, yakni: objek
pembiayaan dan kegunaannya.
Untuk objek harus
diperhatikan pula, apakah termasuk ready stock atau goods ini progress. Untuk
objek ready stock digunakan pembiayaan murabahah, sementara good in progress
harus memperhatikan rentang waktu (salam
untuk jangka pendek dan istishna’
untuk jangka panjang).
Untuk kegunaan, perlu
diperhatikan apakah masuk kategori produktif atau konsumtif. Kategori produktif
terbagi 2, yakni untuk modal kerja atau investasi. Pada modal kerja sangat
diperhatikan apakah kontrak sudah ada atau belum dan berbentuk konstruksi atau
pengadaan barang. Pembiayaan istishna’ yang lebih tepat adalah pekerjaan
konstruksi dengan kontrak yang sudah siap. Untuk non kontrak, maka masuk pada
pengadaan barang berbentuk good in
progress dan berjangka waktu panjang.
Selain memperhatikan
objek dan kegunaan, pihak-pihak terkait dalam pembiayaan syariah perlu pula
memahami kemampuan nasabah. Di sini perlu diperhatikan apakah nasabah termasuk
berpendapatan highly predictable atau tidak. Dari sini dapat diarahkan apakah
nasabah masuk kategori istishna’ untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan
barang jangka panjang.
2. Saran
Mengingat transaksi
muamalah selalu berkembang, perlu kiranya pihak-pihak terkait selalu berinovasi
dalam melihat perkembangan dan kebutuhan masyarakat, baik domestik maupun
global. Pentingnya pembiayaan istishna’ di masyarakat oleh pihak perbankan
syariah saat ini, maka perlu pula mengembangkannya dalam bidang fintech.
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwarman A. Karim. Bank
Islam: Analisis Fikih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Al-Kamal bin
al-Hummam al-Hanafi, Syarh Fathul Qodir, Juz: VII, Bairut Libanan: Dar al-Kutub, t.t.
Ascarya, Akad dan Produk
Bank Syariah,
Depok, Rajawali Pers, 2017.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,
Surabaya, Mekar Surabaya, 2004.
International Shari’ah Research Academy for Islamic
Finance. Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi. Depok: Rajawali
Pers. 2019.
Setia Budhi Wilardjo,
Pengertian, “Peranan dan Perkembangan Bank Syari’ah” dalam Value Added,
Vol. II, No. 1,
September 2004 – Maret 2005.
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, Medan, FEBI
UIN-SU Press, 2018.
Zainul
Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah,
Jakarta, Pustaka Alvabet, 2006
Sumber Internet:
https://bincangsyariah.com/kalam/mengenal-akad-istishna-akad-pemesanan-pengerjaan-barang/ (akses tgl 18 okt 2019).
https://qazwa.id/blog/akad-istishna/#Kendala_Akad_Istishna_pada_KPR_Syariah
(akses tgl 18 okt 2019)
[1] Setia Budhi Wilardjo, Pengertian, “Peranan dan
Perkembangan Bank Syari’ah” dalam Value Added, Vol. II, No. 1, September 2004 – Maret
2005, h. 2.
[3]
https://www.cermati.com/artikel/5-perbedaan-bank-konvensional-dan-syariah (akses tgl 18 okt 2019).
[4]
https://qazwa.id/blog/akad-istishna/#Kendala_Akad_Istishna_pada_KPR_Syariah (akses tgl 18 okt 2019)
[9]
Al-Kamal bin al-Hummam
al-Hanafi, Syarh Fathul Qodir, Juz: VII, Bairut Libanan: Dar al-Kutub,
t.t, h. 115.
[12] International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance.
(2019). Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi. Depok: Rajawali
Pers, h.249.
[15]
https://arsippkuliah.blogspot.com/2017/04/istishna.html
[16]
https://qazwa.id/blog/7-cara-dapatkan-pembiayaan-syariah/
[17]
Adiwarman A. Karim. (2014). Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan.
Jakarta: Rajawali Press, h. 84.
Terimakasih pak infonya
BalasHapusTerimakasih infonya
BalasHapus