Senin, 11 November 2019

KONSTRUKSI AKAD ISTISHNA’ DALAM PEMBIYAAN BANK SYARIAH

KONSTRUKSI AKAD ISTISHNA DALAM
PEMBIYAAN BANK SYARIAH
Oleh: Pandapotan Harahap

A.    Pendahuluan
Sistem perbankan syari’ah menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, adalah sangat mendasar untuk diketahui terlebih dahulu mengapa bank syari’ah perlu dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini banyak pihak yang memiliki keyakinan bahwa produk dan jasa perbankan syari’ah memiliki karakteristik antara lain: a) peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan, b) membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, dan c) prinsip bahwa pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang halal sesuai dengan prinsip syari’ah dan memiliki keunggulan komparatif terhadap sistem perbankan konvensional.[1]
Selain itu sistem perbankan syari’ah yang menerapkan pola pembiayaan usaha dengan prinsip bagi hasil sebagai salah satu pokok dalam kegiatan perbankan syari’ah juga akan menunjukkan dan menumbuhkan rasa tangung jawab pada masing-masing pihak, baik pihak bank maupun pihak debiturnya, sehingga dalam menjalankan kegiatannya semua pihak pada hakikatnya akan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan akan memperkecil kemungkinan resiko terjadinya kegagalan usaha.[2]
Kekuatan sistem perbankan syari’ah sebenarnya terletak pada dibinanya kebersamaan antara ketiga pihak, yaitu: nasabah penyimpan dana, bank dan nasabah peminjam atau penerima pembiayaan karena tidak ada pergeseran (shifting) cost of found maka tidak ada pihak yang selalu di untungkan karena bebas cost of found-nya, dan tidak ada yang selalu menanggung cost of found di ujung proses.[3] Di sini jelas diantara ketiganya tidak ada perbedaan kepentingan, karena ketiganya mempunyai kepentingan yang sama yaitu memperoleh keuntungan yang optimal baik dalam keadaan krisis global pada saat ini maupun dalam keadaan normal. Dengan kebersamaan dalam kepentingan yang sama untuk memperoleh keuntungan yang optimal baik dalam keadaan apapun, maka tidak mengherankan lagi apabila perbankan syariah tidak terkena krisis global.
Dalam tulisan ini akan dibahas masalah konstruksi akad istisna’pembiayaan bank syariah yang meliputi: pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumtif.
B.     Bai’ Al Istisna
Jual beli pada umumnya terbagi menjadi tiga macam: 1) Jual beli barang yang tampak oleh mata, yaitu jual beli yang ketika akad dilakukan barang tersebut sudah ada dan langsung diterima oleh pembeli; 2) Jual beli barang yang tidak tampak oleh mata, karena ketiadaan barang tersebut maka pembeli bisa mendapatkan barang tersebut dengan cara dipesan. Sebagai konsekuensinya, penjual menjadi jaminan akan adanya barang tersebut di kemudian hari. Dapat dengan cara dibayar diawal,dicicil ataupun diakhir; dan 3) Jual beli barang ghaib, yaitu jual beli yang barang tersebut tidak pernah ada sehingga jual beli ini hukumnya haram.[4]
Berdasarkan tiga macam jenis jual-beli di atas, terdapat transaksi Bai’ as Salam  (pre-order) dan Bai’ al Istisna’, dimana keduanya memenuhi kriteria tidak wujudnya barang saat akad dilakukan. Bai’ Al-Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani) dengan harga yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai tahap-tahapan proses produksi.

1.      Pengertian Akad Istishna

Istishna adalah memesan kepada perusahaan/lembaga untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward kedua (setelah salam) yang dibolehkan syariah.[5] Secara bahasa, istishna berasal dari kata shana’a yang artinya membuat. Karena ada penambahan huruf alif, sin dan ta maka makna yang terbentuk adalah meminta atau memohon untuk dibuatkan. Secara istilah, Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’). Terkadang disebut sebagai akad untuk pembelian barang yang akan dibuat bahan dan pembuatan dari pembuat. Apabila bahan dari suatu barang berasal dari pemesan yang disebut  mustashni maka akad ini berubah menjadi akad ijarah.
Sedangkan penerapannya yaitu konsumen melakukan pembayaran cicilan pembiayaan objek istishna’ atas pemesanan barang sejak akad ditandatangani atau dengan cara pembayaran lain yang disepakati. Sementara penetapan harga jual atas objek istishna’ wajib ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dan konsumen sebagai pembeli atau pemesan di awal perjanjian dan tidak boleh berubah-ubah selama masa istishna’.Sedangkan pencairan dana diserahkan kepada nasabah.

2.      Landasan Hukum Istishna

Landasan hukum pada istishna didasarkan pada qiyas terhadap akad salam, yaitu jual beli yang tidak ada barangnya ketika sesi akad sedang berlangsung. Ulama yang menganggap akad istishna’ tidak diperbolehkan diantaranya ialah ulama pengikut mazhab Hanbali dengan dasar bahwa dalam akad istishna’ terdapat potensi seorang produsen menjual barang yang belum ia miliki, dengan argumen hadits dari Abu Dawud: “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”[6]
Ulama Hanafiah melandaskan diperbolehkannya istishna’ atas “istihsan” dari mu’amalah manusia dengan lainnya dan kebiasaan mereka di setiap kurun yang melakukan pemesaan tanpa ada pengingkaran. Adapun Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memperbolehkan atas dasar qiyas terhadap salam dan urf dari masyarakat dengan persyaratan sebagaimana akad salam.[7]
Pendapat para ulama tersebut tentunya tidak terlepas dari sumber utama yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. Ayat yang menjadi landasan hukum istishna adalah QS. Al-Baqarah : 275 yang artinya, “dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba”.[8]
Kemudian pada hadist Nabi SAW, Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim).[9]

Merujuk pada hadist ini maka dapat disimpulkan bahwa akad istishna diperbolehkan. Kemudian sebagian ulama’ menyatakan melalui ijma’nya bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan juga telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengakomodir legalisasi sebuah produk telah melegalkan akad istishna dengan dikeluarkannya fatwa DSN MUI 06/DSN-MUI/VI/2000 tentang Istishna. Dalam fatwa ini mencakup beberapa hal yaitu ketentuan tentang pembayaran dan ketentuan tentang barangnya

3.      Ketentuan Akad dan Objek Istishna

Dalam melakukan akad istishna utamanya dalam mekanisme pembayaran, perlu ada hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya:
1.      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.      Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3.      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Rukun dari akad istishna yang harus dipenuhi dalam transaksi antara lain:
  1. Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan;
2.      Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman); dan
3.      Shighah, yaitu ijab dan qabul.[10]
Kemudian dari segi barang yang diperjual belikan dalam akad istishna juga perlu memperhatikan hal-hal yang membuat akad istishna menjadi sah untuk dilakukan diantaranya:
1.      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang
2.      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya
3.      Penyerahannya dilakukan kemudian
4.      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
5.      Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
6.      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
7.      Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

4.      Perbedaan Akad Istishna dan Akad Salam

Meskipun terlihat sama, namun akad istishna dan akad salam[11] memiliki perbedaan. Dari segi istilah/term yang digunakan untuk penamaan objek, bila akad salam disebut Muslam Fihi sedangkan akad istishna disebut Mashnu.
Dilihat dari sisi harga, akad salam dibayar langsung saat terjadi kontrak. Jadi ketika hendak memesan suatu barang, harus dibayar langsung harga barang yang dipesan di awal ketika akad terjadi. Sedangkan pada akad istishna, pembayaran bisa lebih fleksibel, bisa membayar pas diawal kontrak, cara angsur, atau bisa dibayar dikemudian hari. Inilah yang menjadi inti perbedaan antara akad istishna’ dengan akad salam.
Pada sisi sifat kontrak, akad salam memiliki sifat mengikat secara asli (thabi’i) sedangkan akad istishna memiliki sifat mengikat secara ikutan (taba’i). Maksudnya pada akad salam mengikat semua pihak sejak semula sedangkan istishna menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab. Selain itu, perbedaan akad salam dengan akad istishna adalah sifat barangnya. Dalam akad salam barangnya mesti sudah ada contohnya sedangkan dalam akad istishna barangnya masih berbentuk gambaran atau belum ada wujudnya.

5.      Praktek Akad Istishna Dalam Kehidupan Sehari-Hari (Klasik)

Akad istishna sering diterapkan pada produk-produk yang sifatnya untuk konstruksi seperti bahan bangunan ataupun furniture. Sedangkan akad salam lebih sering digunakan untuk produk-produk seperti buah-buahan dan sebagainya. Mengapa berbeda? Karena pada produk buah-buahan, contoh buah tersebut sudah pernah ada. Adapun karena jumlahnya terbatas maka perlu dipesan terlebih dahulu. Ditambah penjual tidak perlu membuatkannya terlebih dahulu apalagi sampai menuruti spesifikasi yang diminta pembeli karena buah pada umumnya memiliki bentuk yang sama.
Penjual yang merupakan petani hanya perlu menanamkan bibit tanaman yang dipesan kemudian dirawat sampai tanaman tersebut menumbuhkan buah yang kemudian akan diserahkan kepada pembeli. Lain halnya dengan barang-barang seperti furniture yang mana pembeli perlu memberikan secara spesifik barang furniture yang dibutuhkan. Misal, kalau ia memerlukan sebuah lemari maka pembeli harus menyebutkan secara jelas seperti jumlah pintu lemari, ada kaca atau enggak dan sebagainya. Setelah spesifikasi disepakati maka pembeli bisa menyerahkan uangnya langsung, belakangan setelah barangnya jadi atau dengan cara dicicil.
Kontrak istishna’ di atas adalah istishna’ yang selama ini dibahas secara saksama oleh para ulama terdahulu di dalam kepustakaaan yurisprudensi Islam (istishna klasik). Istishna‘ tipe ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu pembeli selaku mustashni’ dan pemanufaktur selaku sani’.[12]
Skema Akad Istishna (Klasik)

Gambar di atas adalah skema akad istishna klasik dengan rincian sebagai berikut:
1.      Pelanggan meminta manufaktur (pembuat) membangun baginya suatu aset terperinci dengan suatu harga yang telah disepakati yang mana bisa dibayar satu periode dan barang disampaikan pada tanggal yang ditentukan
2.      Pelanggan membayar harga aset yang telah disepakati kepada pemanufaktur dengan basis angsur atau kontan
3.      Pemanufaktur menyerahkan aset yang sudah diselesaikan kepada pelanggan pada tanggal yang telah ditentukan.[13]

6.      Akad Istishna’ Paralel

Pada istishna paralel terdapat tiga pihak yang terlihat, yaitu bank, nasabah dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiyaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jualbeli barang yang terjadi. Margin diperboleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.
Skema Akad Istishna Paralel

Gambar di atas adalah skema akad istishna dimana bank syariah diposisikan sebagai penjual. Dalam hal ini nasabah memesan barang yang sesuai spesifikasi kepada bank. Ketika sepakat, bank memesan barang tersebut kepada produsen pembuat. Sembari barang tersebut dibuat, nasabah membayar uang kepada bank bisa dengan cara bayar diawal, dicicil ataupun diakhir. Ketika barang tersebut jadi maka barang dikirimkan langsung kepada nasabah pemesan.
Skema Akad Istishna (produsen dipilih bank)

Pada skema produsen dipilih bank, maka bank syariah diposisikan sebagai penjual. Dalam hal ini nasabah memesan barang yang sesuai spesifikasi kepada bank. Ketika sepakat, bank memesan barang tersebut kepada produsen pembuat. Sembari barang tersebut dibuat, nasabah membayar uang kepada bank bisa dengan cara bayar diawal, dicicil ataupun diakhir. Ketika barang tersebut jadi maka barang dikirimkan langsung kepada nasabah pemesan.[14]
Skema Akad Istishna (produsen dipilih nasabah)

Pada akad istishna dimana produsen dipilih nasabah, maka sistematikanya menjadi:
1.      Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual atau bank mewakilkan nasabah untuk memesan kepada produsen.
2.      Bank  menjual kepada pembeli/ nasabah
3.      Bank syariah membeli dan memesan barang sesuai dengan pesanan yang telah di perjanjikan antara pihak bank dan pembeli  atau nasabah.[15]
C.    Pembiayaan Syariah & Kebutuhan Nasabah
Sistem pembiayaan syariah secara yuridis ada tiga, yaitu: 1) Pembiayaan bagi hasil (terdiri dari mudharabah dan musyarakah), 2) Pembiayaan jual beli (terdiri dari murabahah, istisna dan salam), dan 3) Pembiayaan sewa menyewa (ijarah murni dan ijarah muntahia bittamlik).[16]
Teknik pertama yang perlu dilakukan dalam mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami karaktersitik kebutuhan nasabah.

1.      Objek dan Kegunaan

Teknik pertama yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami karakteristik kebutuhan nasabah, yakni Objek dan Kegunaannya. Jika objek berupa barang, maka harus dilihat barang tersebut ready stock atau goods in process. Untuk barang ready stock, maka pembiayaan yang sesuai adalah murabahah. Sebaliknya untuk barang goods in proscess, maka dilihat dulu jangkanya, pendek atau panjang. Untuk jangka pendek maka pembiayaan salam dengan asumsi nasabah akan mampu menyelesaikan kewajibannya dalam satu kali pembayaran sekaligus. Sebaliknya untuk jangka panjang digunakan pembiayaan istishna’ dan dapat dilakukan beberapa kali pembayaran. Namun, jika objek pembiayaan berupa jasa, maka pembiayaan harus berbentuk pembiayaan ijarah.[17]
Memahami karakteristik kebutuhan nasabah - Objek.png
Bagan 1. Karakteristik kebutuhan nasabah: objek

Hal kedua yang harus dilihat untuk memamhami karakteristik kebutuhan nasabah adalah dari sisi kegunaan barang atau jasa yang dibutuhkan. Hal utama yang harus dicermati adalah untuk kegiatan konsumtif atau produktif. Jika produktif, apakah akan digunakan untuk modal kerja atau investasi.
Bagan 2. Karakteristik kebutuhan nasabah: Kegunaan

2.      Modal Kerja, Investasi dan Konsumtif

Pembiayaan modal kerja dapat digunakan untuk barang atau jasa dan harus dilihat apakah nasabah telah memiliki kontrak dengan pihak ketiga atau tidak. Jika telah memiliki kontrak, harus ditelaah kembali apakah pembiayaannya untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika untuk pekerjaan konstruksi maka bank syariah dapat memberikan pembiyaan istishna’. Namun jika untuk pengadaan barang, maka pembiayaannya berupa mudharabah.[18] Jika modal kerja dalam jangka pendek, maka digunakan pembiayaan salam, sebaliknya digunakan pembiayaan istishna untuk jangka panjang.[19]
Memahami karakteristik kebutuhan nasabah - Modal Kerja.png
Bagan 3. Karakteristik kebutuhan nasabah: Modal kerja
Dalam hal penggunaan biaya untuk investasi, maka kembali dianalisis ready stock atau Goods in process. Jika kondisinya ready stock dan jangka panjang, maka digunakan pembiayuaan IMBT (Ijarah Muntahia Bit Tamlik). Namun jika jangka pendek, maka pembiayaannya masuk kepada murabahah.[20]
Selanjutnya jika investasi tersebut masuk kategori Good in Process dan jangka pendek, akadnya pembiayaan salam. Sebaliknya untuk kategori ini dan jangka panjang, maka pembiayaannya adalah istishna’.[21] Bagan alur untuk pembiayaan investasi dapat dilihat pada gambar berikut:
Memahami karakteristik kebutuhan nasabah - Investasi.png

Bagan 4. Karakteristik kebutuhan nasabah: investasi
Selain dari kedua pembiayaan modal kerja dan investasi di atas, terdapat pula pembiayaan konsumtif. Pembiayaan inipun harus memperhatikan keperluan pembelian barang atau jasa. Jika untuk barang dan ready stock, maka masuk pada pembiayaan murabahah, namun jika termasuk goods in process perlu kembali jangka waktunya: salam untuk jangka pendek dan istishna untuk jangka panjang. Jika kebutuhan nasabah berupa jasa, maka pembiayaan yang diberikan adalah ijarah. Bagan alur untuk pembiayaan konsumtif dapat dilihat pada gambar berikut:
 
Bagan 5. Karakteristik kebutuhan nasabah: Konsumtif

3.      Kemampuan Nasabah

Dalam mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah kemampuan nasabah. Perlu diperhatikan sisi pendapatan nasabah, yakni: highly predicable (pendapatan nasabah yang sangat bisa diprediksi) atau tidak. Jika memenuhi, maka akan ditinjau bentuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Untuk konstruksi digunakan istishna’ dan untuk pengadaan barang digunakan pembiayaan mudharabah (kecuali usaha skala kecil).
Jika nasabah tidak termasuk memiliki pendapatan yang dapat diprediksi dengan baik, maka kembali ditinjau barang yang akan dibiayai, jika masuk kategori ready stock, maka pembiayaannya murabahah, dan apabila kategori goods in progress, maka pembiayaannya salam (kurang dari 6 bulan) serta istishna’ (lebih dari 6 bulan)[22].   Bagan alur untuk kemampuan nasabah dapat dilihat pada gambar berikut:

Bagan 6. Analisis Kemampuan Nasabah

4.      Praktik dan Mekanisme Akad Istishna dalam Masa Kontemporer

Akad istishna saat ini sering diterapkan pada produk pembiayaan rumah syariah atau biasa disebut KPR Syariah. Salah satu bank yang menerapkan pembiayaan KPR Syariah dengan akad istishna adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Penerapan akad istishna pada proses KPR Syariah akan memudahkan nasabah dan akan membuat BPRS lebih unggul dibandingkan konvensional.
Nasabah bisa memesan rumah sesuai spesifikasi yang diinginkan kepada penjual yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh BPRS atau bank syariah lainnya. Setelah kesepakatan terkait spesifikasi rumah telah terselesaikan maka pemesan alias nasabah bisa menentukan metode pembayaran yang diinginkan. Setidaknya ada 2 skema/cara yang diberikan.
a.      Skema Pertama
Nasabah bisa membayar rumah dengan skema pembayaran per bagian rumah. Jadi setiap ada bagian rumah yang jadi nasabah membayar atas bagian rumah yang sudah jadi tersebut. Ilustrasi sederhananya, misal si Fauzan ingin membeli rumah. Ia membeli rumah melalui BPRS Sejahtera. BPRS menawarkan skema akad istishna untuk pembelian rumah. Fauzan setuju, lalu ia menjabarkan spesifikasi rumah yang diinginkan. Kemudian, BPRS Sejahtera menghitung biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membuat rumah sesuai sepesifikasi yang disampaikan.
Dalam skema perhitungan, BPRS akan menambahkan biaya jasa sebagai keuntungan yang berhak mereka dapatkan atas pemesanan rumah tersebut. Setelah perhitungan selesai, disampaikan perhitungan tersebut kepada Fauzan dan Fauzan menyepakati perhitungan yang diberikan. Fauzan membayar dengan cara pembayaran setiap bagian rumah. Jadi, jikalau dalam proses pembuatan rumah tersebut ada bagian-bagian yang sudah mulai jadi Fauzan akan membayarnya. Kalau pondasi udah jadi, Fauzan membayar cicilan pertama. Kemudian ketika dinding udah jadi, Fauzan membayar cicilan kedua. Begitupun seterusnya sampai rumah tersebut jadi dan siap untuk digunakan.
b.      Skema Kedua
Nasabah bisa membayar rumah dengan skema cicilan tanpa perlu menunggu setiap bagian rumah tersebut jadi. Misal si Haruman ingin membeli rumah dengan cara cicil. Ia memesan rumah tersebut kepada BPRS Sentosa. BPRS menawarkan skema akad istishna. Kemudian Haruman menyampaikan spesifikasi rumah yang diinginkan. Kemudian, BPRS akan menghitung biaya-biaya yang diperlukan ditambah biaya jasa. Setelah terhitung, disampaikan hitungan tersebut kepada Haruman. Ia menyepakati termasuk jumlah cicilan yang harus dibayarkan per bulan. Katakanlah total harga rumah yang dipesan adalah 250 juta. Kemudian BPRS memberikan tambahan margin sebanyak 30 juta sebagai biaya jasa sehingga total menjadi 280 juta. Durasi pembayaran adalah selama 28 bulan sehingga setiap bulan Haruman harus mencicil sebanyak 10 juta per bulan.

5.      Kendala Akad Istishna’ pada KPR Syariah

Meskipun memiliki potensi yang besar dalam menggalakkan sektor properti untuk masyarakat, masih jarang Bank Syariah yang menerapkannya karena kendala menjaga amanah terhadap spesifikasi yang disampaikan oleh nasabah. Kemudian literasi tentang muamalah kontemporer[23] khususnya akad istishna dan penerapannya pada dunia perbankan juga masih banyak kurang dipahami terutama bagi mereka yang merupakan praktisi perbankan.
D.    Penutup
1.      Kesimpulan
Pada dasarnya transaksi istishna’ diperbolehkan dalam muamalah, dimana transaksi ini masuk pada kategori non tunai untuk barang/jasa yang diperdagangkan. Dalam pembiayaan syariah, diperlukan pemahaman karakteristik kebutuhan nasabah, yakni: objek pembiayaan dan kegunaannya.
Untuk objek harus diperhatikan pula, apakah termasuk ready stock atau goods ini progress. Untuk objek ready stock digunakan pembiayaan murabahah, sementara good in progress harus memperhatikan rentang waktu (salam untuk jangka pendek dan istishna’ untuk jangka panjang).
Untuk kegunaan, perlu diperhatikan apakah masuk kategori produktif atau konsumtif. Kategori produktif terbagi 2, yakni untuk modal kerja atau investasi. Pada modal kerja sangat diperhatikan apakah kontrak sudah ada atau belum dan berbentuk konstruksi atau pengadaan barang. Pembiayaan istishna’ yang lebih tepat adalah pekerjaan konstruksi dengan kontrak yang sudah siap. Untuk non kontrak, maka masuk pada pengadaan barang berbentuk good in progress dan berjangka waktu panjang.
Selain memperhatikan objek dan kegunaan, pihak-pihak terkait dalam pembiayaan syariah perlu pula memahami kemampuan nasabah. Di sini perlu diperhatikan apakah nasabah termasuk berpendapatan highly predictable atau tidak. Dari sini dapat diarahkan apakah nasabah masuk kategori istishna’ untuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang jangka panjang.
2.      Saran
Mengingat transaksi muamalah selalu berkembang, perlu kiranya pihak-pihak terkait selalu berinovasi dalam melihat perkembangan dan kebutuhan masyarakat, baik domestik maupun global. Pentingnya pembiayaan istishna’ di masyarakat oleh pihak perbankan syariah saat ini, maka perlu pula mengembangkannya dalam bidang fintech.




DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Al-Kamal bin al-Hummam al-Hanafi, Syarh Fathul Qodir, Juz: VII, Bairut Libanan: Dar al-Kutub, t.t.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Depok, Rajawali Pers,  2017.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Surabaya, Mekar Surabaya, 2004.
International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance. Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi. Depok: Rajawali Pers. 2019.
Setia Budhi Wilardjo, Pengertian, “Peranan dan Perkembangan Bank Syari’ah” dalam Value Added, Vol. II, No. 1, September 2004 – Maret 2005.
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, Medan, FEBI UIN-SU Press,  2018.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta, Pustaka Alvabet, 2006

Sumber Internet:
https://qazwa.id/blog/akad-salam/ (akses tgl 18 okt 2019).  



[1] Setia Budhi Wilardjo, Pengertian, “Peranan dan Perkembangan Bank Syari’ah” dalam Value Added, Vol. II, No. 1, September 2004 – Maret 2005, h. 2.
[2] http://repository.uin-suska.ac.id/10701/1/2010_201001PS.pdf (akses tgl 18 okt 2019).
[3] https://www.cermati.com/artikel/5-perbedaan-bank-konvensional-dan-syariah (akses tgl 18 okt 2019).
[5] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Depok, Rajawali Pers,  2017, h. 96.
[6] https://bincangsyariah.com/kalam/mengenal-akad-istishna-akad-pemesanan-pengerjaan-barang/
[7] https://bincangsyariah.com/kalam/mengenal-akad-istishna-akad-pemesanan-pengerjaan-barang/
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Surabaya, Mekar Surabaya, 2004, h. 58
[9] Al-Kamal bin al-Hummam al-Hanafi, Syarh Fathul Qodir, Juz: VII, Bairut Libanan: Dar al-Kutub, t.t, h. 115.
[10] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 97.
[11] https://qazwa.id/blog/akad-salam/
[12] International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance. (2019). Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi. Depok: Rajawali Pers, h.249.
[13] Ibid.
[14] https://arsippkuliah.blogspot.com/2017/04/istishna.html
[15] https://arsippkuliah.blogspot.com/2017/04/istishna.html
[16] https://qazwa.id/blog/7-cara-dapatkan-pembiayaan-syariah/
[17] Adiwarman A. Karim. (2014). Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Press, h. 84.
[18] Karim. (2014). Bank Islam, h. 85.
[19] Ibid.
[20] Karim. Bank Islam, h. 86.
[21] Karim. Bank Islam, h. 88.
[22] Karim. (2014). Bank Islam, h. 89.
[23] Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, Medan, FEBI UIN-SU Press,  2018.

2 komentar:

YUSUF-ZULAIKHA & HUKUM NEWTON

Allah SWT berfirman dalam QS 12 : 26-27 قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِيْ عَنْ نَّفْسِيْ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ كَانَ قَمِيْصُهٗ قُدّ...