Senin, 24 November 2008

Separation Anxiety

Bagi yang sering ke luar kota (commuter), mungkin artikel ini sangat bermanfaat, terutama bagi yang memiliki anak balita. Salam... 

Separation Anxiety

Jangan Dianggap Sepele


TAWARAN untuk segera mengisi posisi kepala cabang perusahaan ritel di daerah di Kalimantan justru membuat Fauzan murung. Pria 31 tahun, warga Kota Bandung, ini merasa waktunya tak tepat. Sebab ia bersama sang istri sedang membangun kedekatan intensif dengan Shasha, putri pertama mereka yang berumur dua tahun.

DI satu sisi, Fauzan ingin meningkatkan karier. Tapi khawatir kalau terlalu lama tinggal berjauhan, hubungan dengan anaknya yang sedang ia bina pasti terganggu. Ia yakin mengasuh batita mengandalkan single parents tak bisa mencapai hasil optimal.

"Belum lama ada teman curhat, anaknya yang masih empat tahun nggak mau lagi dipeluk seperti dua tahun lalu sebelum ia dapat tugas ke luar kota. Kalau diajak jalan-jalan anaknya cuma mau dekat sama ibunya," ungkap Fauzan.

Dilema seperti itu cukup sering dialami orangtua yang harus berpisah sementara berbulan-bulan hingga tahunan. Baik untuk tugas ke luar kota, melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri, atau ketika melaksanakan ibadah haji.

"Kalau ayahnya pulang dari Jepang dua tahun sekali, Raka mulai cari-cari perhatian. Dia jadi cengeng, malas sekolah, disiplinnya menurun, dan nggak mandiri seperti hari-hari biasanya," ungkap Ny Patricia.

Istri pilot sebuah maskapai penerbangan Jepang ini mengaku sempat kewalahan meski dalam mengasuh Raka yang kini berusia lima tahun, Ny Patricia sering dibantu orangtua dan mertua.

Para ahli jiwa mengungkap, hingga usia anak tiga tahun faktor kedekatan orangtua dan anak menjadi begitu penting. Secara psikologis batita merasa begitu kehilangan ditinggal orangtuanya meski cuma sementara.

Kebanyakan batita belum bisa memahami dengan baik alasan kepergian orangtua. Pada beberapa kasus rasa kehilangan ditinggalkan orangtua bahkan bisa mengakibatkan trauma yang dampaknya akan dirasakan si kecil dalam waktu yang lama.

Dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Psikiatri FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, mengungkap berpisah dari orangtua (separation anxiety) merupakan satu dari sembilan bentuk ketakutan yang wajar terjadi pada anak.

Bentuk ketakutan lain pada anak-anak yaitu, takut masuk sekolah, takut orang asing, takut dokter, takut hantu, takut gelap, takut berenang, takut serangga, dan takut anjing.

"Masing-masing rasa takut berbeda penyebab dan berbeda pula cara penangannya. Takut berpisah terutama terjadi pada anak batita. Sebab pada masa itu dalam benak si kecil, orangtua merupakan figur pelindung," jelas Ika Widyawati.

Orang tua perlu sabar menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa pada waktu-waktu tertentu orangtua harus berpisah. Misalnya untuk bekerja atau pergi ke luar rumah dalam waktu  relatif lama. Ada baiknya orangtua menyisipkan pemahaman tentang konsep waktu kepada anak. (ricky reynald yulman)

Kendala Perbedaan Pola Asuh

SEBAGIAN orangtua yang dengan berbagai alasan terpaksa harus berpisah dengan anak-anak mereka, biasanya mempercayakan pengasuhan si kecil kepada orang lain. Tingkatannya mulai dari kakek-nenek, saudara kandung orangtua, kerabat dekat, hingga membayar pengasuh anak profesional.

Namun perlu dipahami, tak selamanya pola asuh yang dibuat orangtua bisa dilakukan figur pengganti tadi. Contoh kecil dialami Ny Wanda (26) dan suaminya yang ingin mengajarkan Wawa (3), anak pertama mereka, untuk berusaha dan bersabar jika menginginkan sesuatu.

"Ternyata waktu aku dan suami lagi di kantor, neneknya selalu menuruti apa yang Wawa mau. Mau eskrim, permen, mi instan, layangan, kembang api, dan lain-lain langsung dibeliin. Neneknya bilang buat nyenangin hati Wawa. Ya, aku nggak bisa apa-apa," sesal Ny Wanda.

Alma Nadhira, psikolog RS Fatmawati, Jakarta, mengungkap cukup banyak terjadi anak justru lebih dekat kepada figur pengganti ketimbang orangtuanya sendiri. "Dengan kata lain, kedekatan anak berpindah pada orang yang memberinya perhatian dan kasih sayang selama anak ditinggalkan orangtuanya," jelasnya.

Upaya mengatasi kendala perbedaan pola asuh sebenarnya bisa diminimalisasi lewat kerjasama yang baik antara orangtua anak dengan pengasuhnya. Melalui situs tabloid-nakita.com Alma memberi catatan bahwa figur pengganti harus berperan sebagai jembatan untuk menjaga hubungan baik anak dan orangtua.

"Bukan malah menjauhkan apalagi menguasai anak sepenuhnya. Setidaknya, bolehkan anak menghubungi orangtuanya dengan alat komunikasi sambil memperlihatkan foto-foto, atau hal lainnya untuk menenangkan perasaan si anak. Pendek kata, figur pengganti ini harus bersikap kooperatif," tegas Alma Nadhira.

Jangan Lakukan Mendadak

UPAYA meminimalisasi kesenjangan pola asuh anak akibat perpisahan sementara dengan orangtua, tak cuma tertuju pada anak. Orangtua dan orang-orang yang akan menjadi figur pengganti juga perlu menyiapkan beberapa hal penting. Di antaranya :

  • Sedapat mungkin tidak melakukan perpisahan secara mendadak. Bila perlu, kondisikan sejak tiga bulan sebelumnya. Misalnya mendekatkan anak dengan figur pengganti.

  • Jelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti anakanak, alasan orangtua meninggalkan mereka. Terangkan juga tentang figur pengganti yang akan mendampingi anak.

  • Memberi akses seluas-luasnya kepada anak untuk tetap bisa berkomunikasi dengan orangtua. Melalui telepon, internet, atau melalui media lainnya.

  • Bila memungkinkan di waktu libur sekolah ajak anak-anak pergi ke tempat tinggal sementara orangtua.

  • Selalu membesarkan hati anak melalui perhatian dan mendengar  kegalauan hatinya.

  • Bila ternyata anak mengalami tekanan berat segeralah konsultasi dengan psikolog.


Sumber: Tribun Jabar by Ricky Reynald Yulman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YUSUF-ZULAIKHA & HUKUM NEWTON

Allah SWT berfirman dalam QS 12 : 26-27 قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِيْ عَنْ نَّفْسِيْ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ كَانَ قَمِيْصُهٗ قُدّ...